Fiqih Dakwah, Sirah Nabawiyah
05 Rabiul Awwal 1428 H ( 22/3/2007 )
Oleh: Musyaffa Ahmad Rohim, Lc
Di dalam Al-Qur’an surat Al-Anfal ayat 65-66, Allâh –subhânahu wa ta’âlâ- berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَفْقَهُونَ (٦٥) الآنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ (٦٦)
65. Hai Nabi, Kobarkanlah semangat Para mukmin untuk berperang. jika ada dua puluh orang yang sabar di antaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. dan jika ada seratus orang yang sabar di antaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti [1].
66. sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di antaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika di antaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar.
Ada banyak orang yang momok dengan angka-angka. Mungkin karena semenjak Sekolah Dasar, ia telah “dicekoki” dengan Matematika yang sering diplesetkan menjadi mati-matian. Mungkin juga karena angka sangat terkait dengan uang, dan ternyata, ia gampang-gampang susah didapatnya, bahkan lebih sering susah dan sulitnya. Mungkin juga keseringan menghitung angka-angka, akan tetapi tidak pernah ada wujud dan hasilnya. Dan masih banyak kemungkinan-kemungkinan yang lain.
Saat saya bersama anak-anak dan keluarga menonton VCD The Amazing Child, sebuah VCD yang mengisahkan bocah berusia 5 tahun yang telah hafal Al-Qur’ân Al-Karîm, dan bahkan mampu menjelaskan dan memahami kandungannya, saya dikejutkan oleh sebuah pertanyaan yang diajukan kepada sang bocah, yang isinya, meminta kepadanya untuk menyebutkan angka-angka di dalam Al-Qur’ân, dan dengan cekatan nan fashîh, sang bocah pun membaca ayat-ayat yang berisi penyebutan angka-angka.
Kenapa saya terkejut dengan pertanyaan seperti ini? Sebab, beberapa waktu yang lalu, saya juga dikejutkan oleh “protes” atau ekspresi momok sebagian aktivis dakwah terhadap angka-angka.
Dari dua kejutan ini, saya pun mencoba mencari-cari, adakah angka-angka di dalam Al-Qur’an, dan juga dalam sirah (perjalanan) hidup nabi Muhammad –shallallâhu ‘alaihi wa sallam-?
Jawaban bocah dalam VCD yang saya tonton, memberi inspirasi kepada saya untuk mencoba mencermati angka-angka ini, yang di antara hasilnya adalah sebagai berikut:
Al-Qur’ân Al-Karîm telah menyebutkan beraneka macam angka, mulai dari pecahan, satuan, belasan, puluhan, ratusan, ribuan dan bahkan ratusan ribu.
Angka-angka pecahan yang disebutkan Al-Qur’ân adalah seperdelapan (1/8), seperenam (1/6), seperempat (1/4), dan setengah (1/2).
Angka-angka satuan, belasan, puluhan, ratusan dan ribuan yang disebutkan Al-Qur’ân adalah satu (1), dua (2), tiga (3), empat (4), lima (5) enam (6), tujuh (7), delapan (8) dan sembilan (9), sepuluh (10), sebelas (11), dua belas (12), sembilan belas (19), dua puluh (20), tiga puluh (30), empat puluh (40), lima puluh (50), enam puluh (60), tujuh puluh (70), delapan puluh (80), seratus (100), dua ratus (200), tiga ratus (300), sembilan ratus lima puluh (950), seribu (1000), dua ribu (2000), tiga ribu (3000), lima ribu (5000) dan angka terbesar yang disebutkan Al-Qur’ân Al-Karîm adalah seratus ribu (100.000).
Kesimpulan sementara saya setelah mendapatkan angka-angka ini: “ternyata, Al-Qur’ân Al-Karîm menyebutkan angka-angka”, karenanya, kita tidak boleh alergi atau momok dengan angka-angka.
Bagaimana dengan perjalanan hidup (sîrah) Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam-?
Bila kita mencoba merunut (membaca secara berurutan) perjalanan hidup (sîrah) beliau –shallallâhu ‘alaihi wa sallam-, ternyata, semenjak awal, para penutur (yang menuturkan dan mengisahkan) serta penulis sîrah beliau, juga sudah akrab dengan angka-angka.
Dalam kitab Al-’Ibar Fî Durûs (Khabar) Man Ghabar, dalam peristiwa tahun 17 H, Al-Hâfizh Al-Dzahabî menulis:
وَفِيْهَا تُوُفِّيَ عُتْبَةُ بْنُ غَزْوَانَ اَلْمَازِنِيّ، أَحَدُ السَّابِقِيْنَ اَلأَوَّلِيْنَ. يُقَالُ أَسْلَمَ سَابِعَ سَبْعَةٍ
Pada tahun tujuh belas Hijriyah (17 H) telah wafat ‘Utbah bin Ghazwân Al-Mâzinî –radhiyallâhu ‘anhu-; salah seorang yang pertama-tama masuk Islam, ada pendapat mengatakan bahwa dia adalah orang yang masuk Islam dengan nomor urut tujuh. [lihat juga Mushannaf Ibn Abî Syaibah juz 8, hal. 45, 199, 452).
Dalam riwayat lain, yang menempati nomor urut ketujuh adalah Sa'ad bin Abî Waqqâsh –radhiyallâhu 'anhu- [Al-Sunan Al-Kubrâ karya Al-Baihaqi juz 1, hal. 106, lihat pula: Ma'ânî Al-Qur'ân, karya Al-Nahhâs saat menafsirkan Q.S. Al-Mâidah: 12).
Riwayat lain mengatakan bahwa yang menempati nomor urut ketujuh adalah Utsmân bin Al-Arqâm [Al-Mustadrak, karya Al-Hâkim, hadîts no. 6181].
Siapapun yang benar darinya tidaklah penting [2], yang terpenting di sini adalah bahwa semenjak awal, masalah angka-angka dalam sîrah nabi Muhammad –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- telah menjadi perhatian para penutur dan penulis sejarah perjalanan hidup beliau –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- ini.
Dan setelah beliau –Shallallâhu ‘alaihi wa sallam- hijrah ke Yatsrib (kemudian dikenal sebagai Al-Madinah atau kota nabi Muhammad –shallallâhu ‘alaihi wa sallam-), dan Allâh –subhânahu wa ta’âlâ- mulai mengizinkan peperangan kepada kaum muslimin, para penulis sîrah menyuguhkan data-data angka sebagai berikut:
Ada empat hal yang menarik dari angka-angka di atas, yaitu:
1. Ada pertumbuhan cepat jumlah pasukan Islam dari tahun ke tahun. Dari Badar ke Uhud (tempo satu tahun) telah terjadi pertumbuhan jumlah pasukan Islam sebanyak tiga kali lipat (300%), begitu juga dari Uhud ke Ahzâb (tempo dua tahun). Yang menarik adalah pertumbuhan dari tahun ke lima (Ahzâb) ke tahun delapan (Fathu Makah), sebab, dalam tempo tiga tahun, pasukan Islam telah berlipat ganda menjadi 10.000 pasukan (lebih dari 300%).
2. Suasana “damai” atau genjatan senjata dengan pihak Makah melalui Shulh Hudaibiyah (perdamaian Hudaibiyah) pada tahun 6 Hijriyah, telah dioptimalkan oleh Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- untuk menyebar luaskan dakwah seluas-luasnya, di samping untuk menyelesaikan urusan strategis lainnya, misalnya: penyerbuan ke benteng Yahudi di Khaibar (tahun 7 H).
3. Pada tahun 9 Hijriyah dan “hanya” dalam tempo satu tahun, jumlah pasukan Islam telah berlipat ganda menjadi 30.000 pasukan (300%). Hal ini terjadi karena Makah yang menjadi musuh dakwah telah tidak ada dan berubah menjadi bagian dari pendukung dakwah.
4. Ada pertumbuhan yang relative “terjaga” dari jumlah pasukan Islam, yaitu sekitar 300%, walaupun tempo yang dilaluinya berbeda-beda.
Adanya angka-angka pertumbuhan seperti ini, menjadikan kita bertanya-tanya: adakah angka-angka seperti ini terjadi secara kebetulan (‘afwiyyan), ataukah memang ada perencanaan atau design yang telah dibuat sebelumnya?
Jika kita menengok kepada tahun dua Hijriyah, saat beliau –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- belum lama tiba di Madinah, yaitu saat itu beliau memerintahkan kepada kaum muslimin untuk melakukan sensus tertulis terhadap semua orang yang telah menyatakan masuk Islam, rasanya terlalu jauh kalau kita berpendapat bahwa angka-angka pertumbuhan seperti di atas terjadi secara kebetulan. Pemahaman yang lebih dekat kepada kebenaran (jika tidak kita katakana kebenaran) adalah pendapat yang mengatakan bahwa hal itu memang sesuatu yang direncanakan oleh Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam-
Dalam kitab Shahîh Muslim disebutkan sebagai berikut:
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ : كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : أَحْصُوا لِي كَمْ يَلْفِظُ اْلإِسْلاَمَ، قَالَ : فَقُلْنَا : يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَخَافُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ مَا بَيْنَ السِّتِّ مِائَةٍ إِلَى السَّبْعِ مِائَةٍ! [رواه مسلم، رقم 149]
Dari Hudzaifah –radhiyallâhu ‘anhu- ia berkata: Kami bersama Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam-, lalu beliau bersabda: “Lakukanlah ihshâ’ untukku berapa orang yang telah menyatakan Islam”. Hudzaifah berkata: ‘maka kami berkata: ‘Wahai Rasulullâh, adakah engkau mengkhawatirkan kami? Sementara jumlah kami antara 600 sampai tujuh ratus! .. [H.R. Muslim, no. 149]
Dan di dalam kitab Shahîh Bukhârî disebutkan:
عَنْ حُذَيْفَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اكْتُبُوا لِي مَنْ تَلَفَّظَ بِاْلإِسْلاَمِ مِنْ النَّاسِ، فَكَتَبْنَا لَهُ أَلْفًا وَخَمْسَ مِائَةِ رَجُلٍ … عَنْ الأَعْمَشِ : فَوَجَدْنَاهُمْ خَمْسَ مِائَةٍ قَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ : مَا بَيْنَ سِتِّ مِائَةٍ إِلَى سَبْعِ مِائَةٍ [البخاري، رقم 3060]
Dari Hudzaifah –radhiyallâhu ‘anhu- ia berkata: Nabi –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Tuliskan untukku orang-orang yang telah menyatakan Islam”. Maka kami menuliskan untuk beliau seribu lima ratus laki-laki … Dari Al-A’masy: Maka kami mendapati mereka berjumlah 500. Abû Mu’âwiyah berkata: antara 600 – 700 [H.R. Bukhârî, no. 3060]
Beberapa Komentar Terhadap Dua Riwayat Ini
1. Prof. DR. Yusuf Al-Qaradhawî: “Kalau saja terjadi pengkodifikasian ulang hadîts, maka saya mengusulkan agar dua riwayat ini dimasukkan ke dalam kitâb al-’ilm (kumpulan hadîts yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan), sebab, al-ihshâ’ (penghitungan, kalkulasi, sensus dan statistic) merupakan dasar berbagai macam ilmu pengetahuan”. [lihat: Al-Rasûl wa al-'Ilm].
2. Menurut Al-Dâwudî, angka-angka yang disebutkan dalam riwayat ini tidaklah kontradiktif, sebab, ada kemungkinan ihshâ’ dilakukan berkali-kali. [Fath al-Bârî saat mensyarah hadîts di atas].
3. Menurut Ibn Al-Munîr, sensus tertulis tidaklah kontradiktif dengan keberkahan, bahkan, penulisan yang diperintahkan itu merupakan kemaslahatan agama. [Fath al-Bârî saat mensyarah hadîts di atas].
Beberapa Tambahan Komentar
1. Dalam terjemahan sederhana, kata ihshâ’ berarti: menghitung. Namun, dalam konteks ilmiah, ihshâ’ juga bermakna kalkulasi, sensus dan bahkan statistic dan grafik. Makna inilah yang oleh Prof. DR. Yusuf Al-Qaradhaî –hafizhahullâh- disebut sebagai dasar ilmu pengetahuan modern, karenanya beliau mengusulkan agar hadîts ini dimasukkan ke dalam kitâb al-’ilm. Wallâhu a’lam.
2. Dua riwayat yang “berbeda”, di mana yang satunya menyebutkan uhshû dan satunya mengatakan uktubû, juga tidak kontradiktif, sebab bisa digabungkan dan saling melengkapi, sehingga bisa dipahami bahwa perintah Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- kepada para sahabat adalah agar mereka melakukan ihshâ’ secara tertulis, dan tidak cukup sekedar lisan sahaja. Hal ini menegaskan betapa penting peranan ihshâ’ tertulis ini, agar data benar-benar valid dan akurat.
3. Perbedaan angka-angka sebagaimana disebut dalam periwayatan hadîts ini, dan sebagaimana dipahami tidak kontradiktif oleh Al-Dâwûdî, juga bisa dipahami bahwa para sahabat nabi terus dan selalu melakukan apa yang di zaman sekarang disebut dengan istilah updating data atau pemutakhiran data dari waktu ke waktu, dan ternyata, updating itu menunjukkan adanya pergerakan naik yang terus menerus; 500, 600, 700 dan 1500. Wallâhu a’lam.
Dari semua keterangan ini, kita bisa memahami dan menyimpulkan bahwa pertumbuhan angka-angka bisa kita katakan telah direncanakan atau by design, dan bukan ‘afwiyyah (kebetulan).
Catatan Kaki:
[1] Maksudnya: mereka tidak mengerti bahwa perang itu haruslah untuk membela keyakinan dan mentaati perintah Allah. mereka berperang hanya semata-mata mempertahankan tradisi Jahiliyah dan maksud-maksud duniawiyah lainnya.
[2] Kemungkinan yang rajîh adalah isyarat Al-Dzahabî di atas, berdasarkan pada riwayat yang dikeluarkan oleh Ibn Abî ‘Âshim sebagai berikut:
حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخ ، وَهُدْبَة بْنُ خَالِد ، قَالاَ : ثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ الْمُغِيْرَةَ ، نَا حُمَيْدٌ بْنُ هِلاَل ، عَنْ خَالِدٍ بْنِ عُمَيْر ، قَالَ : خَطَبَنَا عُتْبَةُ بْنُ غَزْوَان رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ، فَحَمِدَ اللهَ تَعَالَى ، وَأَثْنَى عَلَيْهِ ، ثُمَّ قَالَ : « لَقَدْ رَأَيْتُنِي سَابِعَ سَبْعَةٍ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، مَا لَنَا طَعَامٌ إِلاَّ وَرَقُ الشَّجَرِ ، حَتَّى خَرَجَتْ أَشْدَاقُنَا، فَالْتَقَطْتُ بُرْدَةً، فَشَقَقْتُهَا بَيْنِيْ وَبَيْنَ سَعْدٍ بْنِ مَالِكٍ
[الآحاد والمثاني لابن أبي عاصم]
281- Telah menceritakan kepada kami Syaibân bin Farrûkh dan Hudbah bin Khâlid, keduanya berkata: telah menceritakan kepada kami Sulaimân bin Al-Mughîrah, ia berkata: telah memberitakan kepada kami Humaid bin Hilâl, dari Khâlid bin ‘Umair, ia berkata: Telah menyampaikan khutbah kepada kami ‘Utbah bin Ghazwân – radhiyallâhu ‘anhu-, lalu ia memuji Allâh Ta’âlâ dan memuji-Nya, kemudian ia berkata: “Saya telah melihat diriku sebagai yang ketujuh dari tujuh orang bersama Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam-, kami tidak memiliki makanan apapun selain dedaunan pohon, sehingga ujung bibir kami sampai keluar, lalu aku menemukan selembar kulit, maka saya belah menjadi dua bagian, sebagian untukku dan sebagian lagi untuk Sa’ad bin Malik (Abî Waqqâsh)“. [Al-Âhâd wa Al-Matsânî, karya Ibn Abî 'Âshim]. Wallâhu a’lam.
Sumber : dakwatuna.com
Saat saya bersama anak-anak dan keluarga menonton VCD The Amazing Child, sebuah VCD yang mengisahkan bocah berusia 5 tahun yang telah hafal Al-Qur’ân Al-Karîm, dan bahkan mampu menjelaskan dan memahami kandungannya, saya dikejutkan oleh sebuah pertanyaan yang diajukan kepada sang bocah, yang isinya, meminta kepadanya untuk menyebutkan angka-angka di dalam Al-Qur’ân, dan dengan cekatan nan fashîh, sang bocah pun membaca ayat-ayat yang berisi penyebutan angka-angka.
Kenapa saya terkejut dengan pertanyaan seperti ini? Sebab, beberapa waktu yang lalu, saya juga dikejutkan oleh “protes” atau ekspresi momok sebagian aktivis dakwah terhadap angka-angka.
Dari dua kejutan ini, saya pun mencoba mencari-cari, adakah angka-angka di dalam Al-Qur’an, dan juga dalam sirah (perjalanan) hidup nabi Muhammad –shallallâhu ‘alaihi wa sallam-?
Jawaban bocah dalam VCD yang saya tonton, memberi inspirasi kepada saya untuk mencoba mencermati angka-angka ini, yang di antara hasilnya adalah sebagai berikut:
Al-Qur’ân Al-Karîm telah menyebutkan beraneka macam angka, mulai dari pecahan, satuan, belasan, puluhan, ratusan, ribuan dan bahkan ratusan ribu.
Angka-angka pecahan yang disebutkan Al-Qur’ân adalah seperdelapan (1/8), seperenam (1/6), seperempat (1/4), dan setengah (1/2).
Angka-angka satuan, belasan, puluhan, ratusan dan ribuan yang disebutkan Al-Qur’ân adalah satu (1), dua (2), tiga (3), empat (4), lima (5) enam (6), tujuh (7), delapan (8) dan sembilan (9), sepuluh (10), sebelas (11), dua belas (12), sembilan belas (19), dua puluh (20), tiga puluh (30), empat puluh (40), lima puluh (50), enam puluh (60), tujuh puluh (70), delapan puluh (80), seratus (100), dua ratus (200), tiga ratus (300), sembilan ratus lima puluh (950), seribu (1000), dua ribu (2000), tiga ribu (3000), lima ribu (5000) dan angka terbesar yang disebutkan Al-Qur’ân Al-Karîm adalah seratus ribu (100.000).
Kesimpulan sementara saya setelah mendapatkan angka-angka ini: “ternyata, Al-Qur’ân Al-Karîm menyebutkan angka-angka”, karenanya, kita tidak boleh alergi atau momok dengan angka-angka.
Bagaimana dengan perjalanan hidup (sîrah) Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam-?
Bila kita mencoba merunut (membaca secara berurutan) perjalanan hidup (sîrah) beliau –shallallâhu ‘alaihi wa sallam-, ternyata, semenjak awal, para penutur (yang menuturkan dan mengisahkan) serta penulis sîrah beliau, juga sudah akrab dengan angka-angka.
Dalam kitab Al-’Ibar Fî Durûs (Khabar) Man Ghabar, dalam peristiwa tahun 17 H, Al-Hâfizh Al-Dzahabî menulis:
وَفِيْهَا تُوُفِّيَ عُتْبَةُ بْنُ غَزْوَانَ اَلْمَازِنِيّ، أَحَدُ السَّابِقِيْنَ اَلأَوَّلِيْنَ. يُقَالُ أَسْلَمَ سَابِعَ سَبْعَةٍ
Pada tahun tujuh belas Hijriyah (17 H) telah wafat ‘Utbah bin Ghazwân Al-Mâzinî –radhiyallâhu ‘anhu-; salah seorang yang pertama-tama masuk Islam, ada pendapat mengatakan bahwa dia adalah orang yang masuk Islam dengan nomor urut tujuh. [lihat juga Mushannaf Ibn Abî Syaibah juz 8, hal. 45, 199, 452).
Dalam riwayat lain, yang menempati nomor urut ketujuh adalah Sa'ad bin Abî Waqqâsh –radhiyallâhu 'anhu- [Al-Sunan Al-Kubrâ karya Al-Baihaqi juz 1, hal. 106, lihat pula: Ma'ânî Al-Qur'ân, karya Al-Nahhâs saat menafsirkan Q.S. Al-Mâidah: 12).
Riwayat lain mengatakan bahwa yang menempati nomor urut ketujuh adalah Utsmân bin Al-Arqâm [Al-Mustadrak, karya Al-Hâkim, hadîts no. 6181].
Siapapun yang benar darinya tidaklah penting [2], yang terpenting di sini adalah bahwa semenjak awal, masalah angka-angka dalam sîrah nabi Muhammad –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- telah menjadi perhatian para penutur dan penulis sejarah perjalanan hidup beliau –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- ini.
Dan setelah beliau –Shallallâhu ‘alaihi wa sallam- hijrah ke Yatsrib (kemudian dikenal sebagai Al-Madinah atau kota nabi Muhammad –shallallâhu ‘alaihi wa sallam-), dan Allâh –subhânahu wa ta’âlâ- mulai mengizinkan peperangan kepada kaum muslimin, para penulis sîrah menyuguhkan data-data angka sebagai berikut:
Tahun | Peristiwa | Pasukan Islam | Keterangan |
Dua (2) | Perang Badar | 313 | |
Tiga (3) | Perang Uhud | 1000 (700) | 300 orang pulang |
Lima (5) | Perang Ahzâb | 3000 | |
Delapan (8) | Fathu Makah | 10.000 | |
Sembilan (9) | Perang Tabuk | 30.000 |
Ada empat hal yang menarik dari angka-angka di atas, yaitu:
1. Ada pertumbuhan cepat jumlah pasukan Islam dari tahun ke tahun. Dari Badar ke Uhud (tempo satu tahun) telah terjadi pertumbuhan jumlah pasukan Islam sebanyak tiga kali lipat (300%), begitu juga dari Uhud ke Ahzâb (tempo dua tahun). Yang menarik adalah pertumbuhan dari tahun ke lima (Ahzâb) ke tahun delapan (Fathu Makah), sebab, dalam tempo tiga tahun, pasukan Islam telah berlipat ganda menjadi 10.000 pasukan (lebih dari 300%).
2. Suasana “damai” atau genjatan senjata dengan pihak Makah melalui Shulh Hudaibiyah (perdamaian Hudaibiyah) pada tahun 6 Hijriyah, telah dioptimalkan oleh Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- untuk menyebar luaskan dakwah seluas-luasnya, di samping untuk menyelesaikan urusan strategis lainnya, misalnya: penyerbuan ke benteng Yahudi di Khaibar (tahun 7 H).
3. Pada tahun 9 Hijriyah dan “hanya” dalam tempo satu tahun, jumlah pasukan Islam telah berlipat ganda menjadi 30.000 pasukan (300%). Hal ini terjadi karena Makah yang menjadi musuh dakwah telah tidak ada dan berubah menjadi bagian dari pendukung dakwah.
4. Ada pertumbuhan yang relative “terjaga” dari jumlah pasukan Islam, yaitu sekitar 300%, walaupun tempo yang dilaluinya berbeda-beda.
Adanya angka-angka pertumbuhan seperti ini, menjadikan kita bertanya-tanya: adakah angka-angka seperti ini terjadi secara kebetulan (‘afwiyyan), ataukah memang ada perencanaan atau design yang telah dibuat sebelumnya?
Jika kita menengok kepada tahun dua Hijriyah, saat beliau –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- belum lama tiba di Madinah, yaitu saat itu beliau memerintahkan kepada kaum muslimin untuk melakukan sensus tertulis terhadap semua orang yang telah menyatakan masuk Islam, rasanya terlalu jauh kalau kita berpendapat bahwa angka-angka pertumbuhan seperti di atas terjadi secara kebetulan. Pemahaman yang lebih dekat kepada kebenaran (jika tidak kita katakana kebenaran) adalah pendapat yang mengatakan bahwa hal itu memang sesuatu yang direncanakan oleh Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam-
Dalam kitab Shahîh Muslim disebutkan sebagai berikut:
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ : كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : أَحْصُوا لِي كَمْ يَلْفِظُ اْلإِسْلاَمَ، قَالَ : فَقُلْنَا : يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَخَافُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ مَا بَيْنَ السِّتِّ مِائَةٍ إِلَى السَّبْعِ مِائَةٍ! [رواه مسلم، رقم 149]
Dari Hudzaifah –radhiyallâhu ‘anhu- ia berkata: Kami bersama Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam-, lalu beliau bersabda: “Lakukanlah ihshâ’ untukku berapa orang yang telah menyatakan Islam”. Hudzaifah berkata: ‘maka kami berkata: ‘Wahai Rasulullâh, adakah engkau mengkhawatirkan kami? Sementara jumlah kami antara 600 sampai tujuh ratus! .. [H.R. Muslim, no. 149]
Dan di dalam kitab Shahîh Bukhârî disebutkan:
عَنْ حُذَيْفَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اكْتُبُوا لِي مَنْ تَلَفَّظَ بِاْلإِسْلاَمِ مِنْ النَّاسِ، فَكَتَبْنَا لَهُ أَلْفًا وَخَمْسَ مِائَةِ رَجُلٍ … عَنْ الأَعْمَشِ : فَوَجَدْنَاهُمْ خَمْسَ مِائَةٍ قَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ : مَا بَيْنَ سِتِّ مِائَةٍ إِلَى سَبْعِ مِائَةٍ [البخاري، رقم 3060]
Dari Hudzaifah –radhiyallâhu ‘anhu- ia berkata: Nabi –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Tuliskan untukku orang-orang yang telah menyatakan Islam”. Maka kami menuliskan untuk beliau seribu lima ratus laki-laki … Dari Al-A’masy: Maka kami mendapati mereka berjumlah 500. Abû Mu’âwiyah berkata: antara 600 – 700 [H.R. Bukhârî, no. 3060]
Beberapa Komentar Terhadap Dua Riwayat Ini
1. Prof. DR. Yusuf Al-Qaradhawî: “Kalau saja terjadi pengkodifikasian ulang hadîts, maka saya mengusulkan agar dua riwayat ini dimasukkan ke dalam kitâb al-’ilm (kumpulan hadîts yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan), sebab, al-ihshâ’ (penghitungan, kalkulasi, sensus dan statistic) merupakan dasar berbagai macam ilmu pengetahuan”. [lihat: Al-Rasûl wa al-'Ilm].
2. Menurut Al-Dâwudî, angka-angka yang disebutkan dalam riwayat ini tidaklah kontradiktif, sebab, ada kemungkinan ihshâ’ dilakukan berkali-kali. [Fath al-Bârî saat mensyarah hadîts di atas].
3. Menurut Ibn Al-Munîr, sensus tertulis tidaklah kontradiktif dengan keberkahan, bahkan, penulisan yang diperintahkan itu merupakan kemaslahatan agama. [Fath al-Bârî saat mensyarah hadîts di atas].
Beberapa Tambahan Komentar
1. Dalam terjemahan sederhana, kata ihshâ’ berarti: menghitung. Namun, dalam konteks ilmiah, ihshâ’ juga bermakna kalkulasi, sensus dan bahkan statistic dan grafik. Makna inilah yang oleh Prof. DR. Yusuf Al-Qaradhaî –hafizhahullâh- disebut sebagai dasar ilmu pengetahuan modern, karenanya beliau mengusulkan agar hadîts ini dimasukkan ke dalam kitâb al-’ilm. Wallâhu a’lam.
2. Dua riwayat yang “berbeda”, di mana yang satunya menyebutkan uhshû dan satunya mengatakan uktubû, juga tidak kontradiktif, sebab bisa digabungkan dan saling melengkapi, sehingga bisa dipahami bahwa perintah Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- kepada para sahabat adalah agar mereka melakukan ihshâ’ secara tertulis, dan tidak cukup sekedar lisan sahaja. Hal ini menegaskan betapa penting peranan ihshâ’ tertulis ini, agar data benar-benar valid dan akurat.
3. Perbedaan angka-angka sebagaimana disebut dalam periwayatan hadîts ini, dan sebagaimana dipahami tidak kontradiktif oleh Al-Dâwûdî, juga bisa dipahami bahwa para sahabat nabi terus dan selalu melakukan apa yang di zaman sekarang disebut dengan istilah updating data atau pemutakhiran data dari waktu ke waktu, dan ternyata, updating itu menunjukkan adanya pergerakan naik yang terus menerus; 500, 600, 700 dan 1500. Wallâhu a’lam.
Dari semua keterangan ini, kita bisa memahami dan menyimpulkan bahwa pertumbuhan angka-angka bisa kita katakan telah direncanakan atau by design, dan bukan ‘afwiyyah (kebetulan).
Catatan Kaki:
[1] Maksudnya: mereka tidak mengerti bahwa perang itu haruslah untuk membela keyakinan dan mentaati perintah Allah. mereka berperang hanya semata-mata mempertahankan tradisi Jahiliyah dan maksud-maksud duniawiyah lainnya.
[2] Kemungkinan yang rajîh adalah isyarat Al-Dzahabî di atas, berdasarkan pada riwayat yang dikeluarkan oleh Ibn Abî ‘Âshim sebagai berikut:
حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخ ، وَهُدْبَة بْنُ خَالِد ، قَالاَ : ثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ الْمُغِيْرَةَ ، نَا حُمَيْدٌ بْنُ هِلاَل ، عَنْ خَالِدٍ بْنِ عُمَيْر ، قَالَ : خَطَبَنَا عُتْبَةُ بْنُ غَزْوَان رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ، فَحَمِدَ اللهَ تَعَالَى ، وَأَثْنَى عَلَيْهِ ، ثُمَّ قَالَ : « لَقَدْ رَأَيْتُنِي سَابِعَ سَبْعَةٍ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، مَا لَنَا طَعَامٌ إِلاَّ وَرَقُ الشَّجَرِ ، حَتَّى خَرَجَتْ أَشْدَاقُنَا، فَالْتَقَطْتُ بُرْدَةً، فَشَقَقْتُهَا بَيْنِيْ وَبَيْنَ سَعْدٍ بْنِ مَالِكٍ
[الآحاد والمثاني لابن أبي عاصم]
281- Telah menceritakan kepada kami Syaibân bin Farrûkh dan Hudbah bin Khâlid, keduanya berkata: telah menceritakan kepada kami Sulaimân bin Al-Mughîrah, ia berkata: telah memberitakan kepada kami Humaid bin Hilâl, dari Khâlid bin ‘Umair, ia berkata: Telah menyampaikan khutbah kepada kami ‘Utbah bin Ghazwân – radhiyallâhu ‘anhu-, lalu ia memuji Allâh Ta’âlâ dan memuji-Nya, kemudian ia berkata: “Saya telah melihat diriku sebagai yang ketujuh dari tujuh orang bersama Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam-, kami tidak memiliki makanan apapun selain dedaunan pohon, sehingga ujung bibir kami sampai keluar, lalu aku menemukan selembar kulit, maka saya belah menjadi dua bagian, sebagian untukku dan sebagian lagi untuk Sa’ad bin Malik (Abî Waqqâsh)“. [Al-Âhâd wa Al-Matsânî, karya Ibn Abî 'Âshim]. Wallâhu a’lam.
Sumber : dakwatuna.com
No comments:
Post a Comment
Jangan Lupa Komen Ya...